Selasa, 01 Mei 2012

Peradaban Islam di Cina
Latar Belakang Sejarah

Islam sampai ke China melalui dua jalur perdagangan, pertama-tama melalui jalan laut, dan kemudian melalui jalan darat. Komunitas Muslim China telah meningkat terus-menerus bertahun-tahun melalui imigrasi, perpindahan agama dan perkawinan.
Sumber-sumber China kuno melaporkan bahwa ekspedisi Arab datang ke China di tahun kedua pemerintahan kaisar Yung Way dari dinasti Tang; yaitu pada 31 H (651 M) di mana pemerintahan khalifah Usman. Orang-orang muslim China percaya bahwa para anggota delegasi ini, yang berjumlah 15 orang, adalah orang muslim pertama yang memasuki China. Mereka percaya bahwa ekspedisi ini di bawah Saad Ibn Abi Waqqas, salah seorang sahabat nabi. Delegasi datang ke China melalui laut, mendarat di Kanton, kemudian melalui darat pergi ke ibukota Shang-An (sekarang Sian) di mana mereka dismbut oleh kaisar dan diizinkan membangun sebuah masjid. Masjid ini diyakini sebagai masjid pertama di China, yang masih berdiri sampai sekarang. Ada juga sebuah masjid di Kanton, di atas kuburan Saad, ketua ekspedisi itu. namun cerita ini belum diuji dengan sumber-sumber Arab, dan dapat dipastikan bahwa Saad Ibn Abi Waqqas meninggal di Madinah. Ini berarti bahwa ketua ekspedisi itu pasti Saad yang lain.
Tentara muslim mencapai perbatasan China pertama kali melalui darat di masa khalifah Walid dari Bani Umayyah, Al-Hajjaj Ibn Yusuf Al-Tsaqafi, gubernur Irak pada waktu itu mengirim tentara muslim di bawah pimpinan Qutaibah Ibn Muslim Al-Bahili ke perbatasan China. Tentara itu meninggalkan Samarkand (Uzbekistan) pada 93 H (711 M) dan memasuki Kashgar (Singkiang) pada 96 H (714 M). Kaisar China kemudian setuju membayar upeti kepada orang-orang muslim sebagai tanda kesetiaan kepada negara muslim.
Hubungan perdagangan meningkat dengan pesat antara bangsa muslim dan China. Perdagangan dijalankan pertama dengan jalur laut, kemudian ketika Kashgar menjadi bagian dari bangsa muslim, melalui darat. Kebanyakan pedagang adalah muslim, dan umumnya dari Arabia dan Persia. Hubungan antara China dan bangsa muslim di masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah terus-menerus bersifat ramah dan hangat, saling tukar-menukar kedutaan dan delegasi. Pada 138 H (755 M) kaisar China meminta pertolongan dari bangsa muslim untuk memadamkan pemberontakan An-Lu-Chan. Khalifah memenuhi dengan mengirim pasukan terdiri dari 4000 orang tentara muslim yang berhasil mengalahkan pemberontak dan menetap di tanah China. Mereka mengawini wanita China, membangun keluarga muslim, sehingga memberikan dukungan demografik yang kuat kepada komunitas muslim pertama di China.
Jumlah pedagang muslim dan Arabia dan Persia yang menetap di Kanton meningkat secara berarti sehingga mereka membentuk perbandingan yang penting dari penduduk kota itu. pada 141 H (758 M), mereka memberontak melawan kaisar karena beban pajak yang berat, yang kemudian dihentikan. Pada 145 H (762 M), muslim sekali lagi membantu kaisar memadamkan pemberontakan lain, Sei-Chu-Bei.
Kanton menjadi pusat penyebaran komunitas muslim kearah Hang-Chu digaris pantai sebelah utara. Mereka membangun masjid dan sekolah di mana mereka pergi. Pada 259 H (872 M) pengembara Arab Ibn Wahb mengunjungi Kanton dan bertemu orang-orang muslim di sana ketika ia bertemu dengan kaisar. Namun tujuh tahun kemudian, malapetaka menimpa orang-orag muslim ketika pemberontak membakar kota dan membunuh lebih dari 100.000 muslim. Dinasti Tang tidak selamat dalam peristiwa ini dan jatuh pada 295 H (907 M).
Selama dinasti Tang, orang-orang muslim hidup makmur dan dihormati di China. Namun meskipun meluas perkawinan campuran, mereka tetap merupakan unsure asing, baik dalam segi bahasa, asal etnik dan bentuk fisik. Namun banyak kaisar memberikan perlakuan istimewa kepada mereka. Pemberian hak istimewa ini meningkat di bawah Dinasti Siung berikutnya. Ada 86 delegasi dari negara muslim ke China antara 31 H (651 M) DAN 604 H (1207 M). Terjadi aliran imigran Muslim secara terus-menerus yang mebangun kota-kota Muslim satelit di dekat pelabuhan-pelabuhan terbesar China. Mereka membangun masjid dan sekolah dan mendirikan lembaga-lembaganya sendiri. Mereka mencalonkan gubernur mereka sendiri yang biasanya diterima oleh Kaisar.
Orang-orang Muslim China membentuk kelas pedagang kaya dengan hubungan-hubungan internasional. Mereka diperlukan untuk perdagangan China dan mendapat penghargaan tinggi. Sepanjang Dinasti Siung pos baru yang diciptakan, yaitu Direktur Jenderal Laut di Kanton selalu dijabat oleh seorang Muslim. Sepanjang periode yang sama, penduduk Muslim meningkat jumlahnya sebagai hasil imigrasi melalui jalur Kashgar, dank arena perpidahan agama penduduk setempat, yang paling mengagumkan adalah perpindahan agama secara missal Suku Hsiung-Nu.
Orang-orang Mongol di bawah Chingis Khan menyerbu China dan menurunkan Dinasti Siung. Kubilay Khan, anak Chingis membangun Dinasti Yuan. Pada waktu itu tentara Mongol menaklukan sebagian besar bagian Asia dari dunia Islam dan menghancurkan kekhalifahan Abbasiyah dan ibukota Muslim, Baghdad. Namun akibat sampingnya adalah Pax Mongolica yang meliputi bagian-bagian dunia Islam dan China dalam satu unit tunggal. Situasi ini mendorong gerakan orang dan ide-ide yang pada gilirannya membantu terjadinya perpindahan agama secara missal ke Islam, terutama di antara para pembesar Mongol. Akhirnya orang-orang Muslim menjadi kelas terkemuka di seluruh negara Mongol termasuk China. Di sekitar periode inilah untuk pertama kali bahasa Persi mengganti bahasa Arab sebagai bahasa komunitas Muslim China. Hampir semua pejabat tinggi tentara, pemerintahan dan administrasi adalah Muslim. Seorang ahli sejarah bangsa Parsi Rashid-Din Fadlullah melaporkan pada jilid pertama Ensiklopedi Sejarah-nya, bahwa di era negara Mongol di bawah Kubilay Khan, China dibagi ke dalam 14 provinsi. Pimpinan masing-masing provinsi adalah Gubernur dan Wakil Gubernur. Delapan gubernur adalah Muslim dan empat wakil gubernur provinsi lain adalah juga Muslim. Di antara negarawan China Muslim yang paling terkenal pada periode itu Gubernur Provinsi Yunnan antara 1278 dan 1279 M. Anaknya Al-Sayyid Bayin menjadi Perdana Menteri Kaisar China antara 1333 dan 1340 M.
Pengembara Maroko Ibn Batutah mengunjungi China selama periode ini. ia melaporkan bahwa “tiap kota China mempunyai kota Muslim dimana hanya hidup orang-orang Muslim. Dalam kota-kota ini ada masjid dan lembaga-lembaga lain. Orang-orang muslim sangat dihormati.”
Dinasti Mongol (Yuan) jatuh pada 1368 M, diganti oleh dinasti Ming yang berlanjut sampai tiga abad sampai tahun 1644 M. Selama periode ini, Muslim mencapai puncak kemakmuran dan pengaruh. Periode ini juga bercirikan berakhirnya imigrasi Muslim dan ditandai dengan meningkatnya jumlah orang China yang masuk Islam. Akibatnya perubahan sempurna cirri-ciri komunitas Muslim, dari komunitasasing, sekalipun telah hadir selama tujuh abad, menjadi komunitas asli secara sempurna, tanpa kehilangan Islamnya. Hasil paling mengesankan dari penghasilan ini adalah penggantian kedudukan bahasa Persia sebagailingua franca komunitas Muslim oleh China Mandarin dalam mana sekunpulan besar literature Muslim dikembangkan. Efek lain adalah meluasnya nama-nama China dikalangan orang-orang Muslim: Muhammad menjadi ‘Ma’, Mustapha menjadi ‘Mu’, Mas’ud ‘Si’, Dawwud dan Tahir ‘Ta’, Hasan ‘Ha’, Husayn ‘Hu’, Badruddin, Jalaluddin, dan seterusnya menjadi ‘Ning’, Najib dan Nasir menjadi ‘Na’, Salim, Salih menjadi “Sha’, Ali menjadi ‘Ay’, dan seterusnya. Orang-orang Muslim juga menyerap kebiasaan-kebiasaan China yang tidak mengganggu pengajaran Islam. Mereka saling kawin-mengawini dengan orang-orang China yang masuk Islam secara besar-besaran sehingga tidak mungkin mengenali China dengan Muslim dari China non-Muslim.
Pengaruh Muslim sepanjang Dinasti Ming pernah lebih besar daripada masa Dinasti Mongol. Kaisar pertama dari dinasti itu, Ming Tsai Tsu, dan Kaisar Wanita diperkirakan telah menjadi muslim. Kecintaan Kaisar terhadap Nabi Muhammad sudah terkenal dan sangat terang-terangan. Ia menulis puisi memuji-muji nabi dan memahatnya diatas marmer di masjid Jami’ Kota Nankin (masih ada sampai sekarang). Kaisar Yung Lu (1405-32 M) menggunakan Kalender Hijrah sebagai kalender resmi China dan mengirim Duta Besar Muslim, Chung Hu, ke beberapa negara Muslim untuk membangun hubungan yang hangat dengan mereka. Kebanyakan pejabat tinggi Dinasti Ming juga Muslim.
Terkecuali Turkestan Timur (Singkiang-Uighur), yang sebenarnya lebih merupakan bagian Turki daripada China, Islam tidak pernah mampu membangun suatu entitas politik yang merdeka dan abadi di China. Memang benar, di bawah rezim Mongol (1279-1368), posisi muslim China sangat berpengaruh, dan banyak ahli sejarah memandang Dinasti Yuan adalah muslim. Pengaruh ini tidak menurun di bawah Dinasti Ming (1368-1644), sepanjang dinasti ini muslim menjadi terintegrasi dengan baik dalam kebudayaan China tanpa kehilangan identitas muslimnya.
Muslim China mengalami periode mengerikan dan penganiayaan terus-menerus yang berlangsung sekitar tiga abad di bawah Dinasti Manchu (1644-1911). Pengalaman itu di abad Sembilan belas membawa kepada revolusi-revolusi musim dan kepada pendirian negara-negara muslim yang berumur pendek di Yunan, Khansu dan Turkestan Timur. Semua negara ini dihancurkan dengan biaya sangat besar bagi kehidupan muslim.
Memasuki abad sekarang, revolusi nasionalis China pada 1911, didukung oleh massa muslim yang sangat ingin menghancurkan rezim Manchu. Dari 1911 sampai 1948, Islam menyaksikan suatu kebangkitan kembali yang sebenarnya di China dan orang-orang muslim mulai mendapatkan kembali beberapa pengaruhnya yang dulu. Sejak pembentukan rezim Komunis pada 1948, suatu bentuk penindasan baru yang dilakukan terhadap orang muslim. Semua kontak antara muslim di berbagai bagian China dan dunia lain berhenti. Masjid-masjid dan sekolah-sekolah muslim ditutup, para imam dibunuh atau dipenjarakan. Struktur kekeluargaan muslim dihancurkan dan para anggotanya bubar.
Mayoritas muslim China mengikuti mazhab Hanafi. Sekitar 90 % muslim adalah China dalam pengertian yang hampir seutuhnya. Namanya China, wajah mukanya China, begitu juga kebudayaannya. Ini sering disebut Huis oleh China yang lain. Sisanya 10% adalah Turki dan Mongol. Muslim lebih banyak di provinsi-provinsi utara daripada provinsi selatan.
Rezim komunis tidak memerlukan identifikasi agama dalam sensus. Namun jumlah muslim yang bukan berasal dari etnik China dapat ditaksir dari sensus kebangsaannya. Bagi muslim yang secara etnis adalah China, jumlahnya dapat dihitung atas dasar sensus 1936. Sensus ini menunjukkan jumlah muslim di tiap provinsi dan juga jumlah penduduk muslim seluruhnya. Jumlah muslim seluruhnya ditaksir 47.437.000 orang atau 10,5% dari jumlah penduduk. Jika persentase ini tidak berubah, kita sampai pada suatu angka 107 juta pada 1982.
Muslim merupakan mayoritas di dua wilayah: daerah otonom Singkian-Uighur dan provinsi Chinghai. Muslim juga mendekati mayoritas dalam dua wilayah lain: Ninghsia-Hui (47%) dan Khansu (40%). Namun wilayah-wilayah dengab persentase muslim yang tinggi menjadi wilayah tujuan imigrasi non-muslim secara besar-besaran yang cenderung menipiskan karakter keislaman.
Bagi muslim China periode 1952-1968 mirip era Stalin di Uni Soviet. Kelaparan buatan dicipatakan, penduduk muslim dibubarkan, masjid-masjid dibakar, lembaran-lembaran Al-Qur’an dirobek berserakan dan para pemimpin muslim dianiaya dan dihina. Baru-baru ini saja, beberapa perbaikan nasib orang-orang muslim seakan-akan telah terjadi. Harapan-rapan telah meningkat setelah meninggalnya Mao-Tse-Tung dan penyisihan “Kelompok Empat”.

Perkebangan Islam di China
Sejak sebelum era Islam sudah terjadi hubungan perdagangan antara dunia Arab dan China. Jalur perdagangan ini ada yang melewati laut dan ada yang melewati darat (jalur sutera). Beberapa pedagang Arab disebut-sebut sudah ada yang menetap di beberapa kota bandar dagang di negeri China, seperti Kanton, Chang Chow, dan Chuan Chow. Walaupun ada yang berpendapat Islam sudah masuk ke Kanton sejak zaman Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, tetapi hubungan resmi antara pemerintah Islam dan China terjadi pada masa Khalifah Utsman ibn Affan radhiyallahu ’anhu yang mengirim delegasi pada kaisar Dinasti Tang (618-905). Hal ini tercatat dalam sejarah resmi (Annals) Dinasti Tang.4

Sejak itu terjadi hubungan diplomatik yang baik antara kekhalifahan Islam dan Dinasti Tang. Catatan resmi dinasti tersebut menyebutkan adanya 37 kali perutusan diplomatik di antara kedua belah pihak. Salah satu kaisar China yang terguling karena pemberontakan pada tahun 755 M bahkan pernah mendapat bantuan militer dari pasukan muslim yang dikirim dari Asia Tengah sehingga dinasti tersebut berhasil mendapatkan kembali kedaulatannya. Sebagai balasannya, sang kaisar mengizinkan pasukan muslim yang telah membantunya itu untuk tinggal di salah satu distrik di ibukota Dinasti Tang dan membolehkan mereka melakukan pernikahan dengan perempuan-perempuan China.5
Di akhir masa pemerintahan Dinasti Tang tercatat adanya 120.000 orang asing menetap di China. 80 persen dari jumlah tersebut adalah orang-orang Arab, selebihnya orang Persia, Nasrani, dan Yahudi.6Orang-orang Arab muslim yang menetap di China pada abad ke-8 telah memperoleh hak khusus untuk mengatur urusan serta memilih pemimpin di antara mereka sendiri. Hal ini menunjukkan adanya hubungan baik serta kepercayaan pemerintah China kepada komunitas muslim yang tinggal di sana. Mobilitas yang dinamis di antara dunia Islam dan Tiongkok telah memungkinkan para ahli geografi muslim mencatat keadaan geografis dan kebudayaan China dengan baik pada masa yang relatif dini, seperti yang bisa didapati pada sebuah kitab anonim berjudul Silsilat al-Tawarikh yang mungkin disusun pada paruh terakhir abad ke-9 dan diedit oleh Abu Zaid al-Sirafi dan kemudian dikutip oleh al-Mas’udi dalam Muruj al-Dzahab-nya.7


Pada masa-masa berikutnya, eksistensi Islam di China terus berlanjut, malah semakin baik. Ketika China dikuasai oleh Mongol dan terbentuk Dinasti Yuan (1279-1368 M), pengaruh Islam di Tiongkok semakin kokoh. Banyak muslim Arab atau Persia yang diberdayakan dalam pemerintahan dan militer China. Beberapa di antaranya bahkan memegang posisi yang strategis, seperti Saidian Chi (Say Dian Chih/ Sayyid Shini/ Sayyid Syamsuddin) yang menjadi Gubernur di Yunnan. Sebuah pribahasa China sampai-sampai menyebutkan ”Hui-Hui (muslim) tersebar luas di seluruh penjuru China pada masa Dinasti Yuan.”8 Pada masa ini kaum Muslimin bahkan dipanggil dengan sebutan Da’shman yang bermakna ’orang terpelajar,’ di samping sebutan Mu Su Lu Man dan Hui-Hui.9


Keberadaan Islam di China mencapai puncaknya pada masa Dinasti Ming (1368-1644) yang menggantikan Dinasti Yuan. Ibrahim Tien Ying Ma menyebutkan bahwa istri kaisar pertama Dinasti Ming adalah seorang muslimah yang dikenal sebagai Ratu Ma (Ma menurutnya merupakan nama keluarga muslim China yang berasal dari kata ’Muhammad’). Empat dari enam panglima yang mendukung proses revolusi yang melahirkan Dinasti Ming juga merupakan panglima-panglima muslim. Ia juga berargumen bahwa kaisar pertama Dinasti Ming, Chu Yuan Chang, dan kaisar-kaisar Ming berikutnya menganut agama Islam, walaupun mereka tidak menjadikan Islam sebagai agama resmi negara.10 Yang jelas, masyarakat China mencapai puncak kejayaannya pada masa dinasti ini dan pada masa ini pula Islam mencapai puncak pengaruhnya di negeri tersebut. Admiral Cheng Ho pun menjalankan misi diplomasinya yang sangat menonjol ke Timur Tengah dan Asia Tenggara pada awal pemerintahan Dinasti Ming.


Ketika dinasti ini jatuh oleh gerakan demokrasi dan republikan yang dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen, kaum Muslimin China merasakan keadaan yang lebih baik dan ikut memberikan kontribusi yang cukup penting. Namun, ketika komunisme berkuasa di China sejak tahun 1950, mereka kembali mengalami kemunduran dan mendapat tekanan yang luar biasa. Masjid-masjid dan para imamnya dihancurkan dan disingkirkan oleh pemerintah komunis pada masa Reformasi Keagamaan (1958) dan Revolusi Kebudayaan (1966-1976).


Liu Baojun memberi contoh bahwa di provinsi Qinghai setelah tahun 1958 hanya tersisa 8 masjid, padahal sebelumnya ada 931 masjid. Jumlah imam dan staf keagamaan di masjid-masjid pun tinggal 12 orang setelah tahun 1958, dari sebelumnya yang berjumlah 5940 orang. Pada masa Revolusi Kebudayaan, masjid dan para imam di provinsi tersebut sama sekali tidak tersisa lagi. Pelaksanaan kewajiban Islam seperti shalat lima waktu dan pergi haji tidak diizinkan. Yang terakhir ini menyebabkan muslim China mengalami keterputusan hubungan dengan negeri-negeri Muslim lainnya dan menjadikan generasi muda mereka mengalami kesenjangan dalam pemahaman Islam. Namun sejak masa pemerintahan Deng Xiaoping, keadaan muslim di China menjadi lebih baik. Keyakinan mereka serta kebebasan dalam menjalankan kewajiban keagamaan dilindungi oleh undang-undang.12


Ketegangan antara muslim dengan pemerintah komunis China memang masih terjadi pada waktu-waktu tertentu, seperti yang berlaku di wilayah Xinjiang belum lama ini. Namun itu bukan berarti kaum Muslimin sama sekali tidak memiliki peluang untuk berkembang dan memajukan diri pada masa-masa yang akan datang. Islam telah hadir sejak awal keberadaannya di China dan telah menjadi bagian integral serta memberikan kontribusi yang sangat penting dalam perjalanan sejarah bangsa tersebut. Walaupun belakangan mendapat tekanan luar biasa dari rezim yang berkuasa, tetapi Islam bukan hanya masih eksis di China, tetapi juga masih memiliki jumlah penganut yang sangat besar. Sementara agama Yahudi dan Kristen Nestorian yang lebih dulu masuk ke China telah habis tak bersisa.
Kenyataan ini juga rupanya yang mendorong ketertarikan Isaac Mason, seorang misionaris di China pada awal abad ke-20, untuk menerjemahkan sebuah karya biografi tentang Nabi Muhammad yang ditulis oleh seorang ilmuwan Muslim China bernama Liu Chai-Lien atau Liu Chih. Dalam pengantarnya Mason menulis, ”Nestorianisme menghilang bak air yang merembes ke dalam pasir, meninggalkan tak satu pun pengikut di negeri ini; dan hal yang sama juga secara praktis berlaku pada komunitas Yahudi masa lalu. Apa, kemudian, dinamika dalam agama ini (Islam, pen.) yang secara tegar menolak untuk terserap oleh lingkungannya, dan secara gigih membanggakan superioritasnya terhadap seluruh sistem lainnya? Sementara sepenuhnya menyadari, dan mengakui sebab-sebab lainnya, saya percaya bahwa keperibadian sang Nabi (Muhammad, pen.), sebagaimana yang dipahami dan dipercayai oleh para pengikutnya, telah menjadi faktor yang sangat kuat dalam memelihara agama Islam.”13

Kebangkitan Islam Modern di China
Dinasti Ming dijatuhkan oleh penyerang-penyerang Manchu yang membangun Dinasti Ching. Ini adalah pendudukan asing yang berlandaskan divide et impera. Dari semula mereka menunjukkan ketidaksenangan yang mendalam kepada orang Muslim dan memandangnya sebagai pendukung dinasti yang lalu. Dibawah rezim Ching dari 1644-1911 M orang Muslim menjadi sasaran kekejaman yang paling buruk. Mereka mebalas dengan pemberontakan terus-menerus melawan rezim itu yang berakibat kehilangan besar kehidupan, pengaruh dan harta benda. Ching memusatkan usaha-usaha anti-Islamnya di daerah-daerah yangsangat padat Islamnya, seperti Turkestan Timur, Khansu dan Yunnan. Karena itu disana terjadi sederetan pemberontakan Muslim yang tidak berhasil yang dipimpin oleh Su Sei-San (1758 M) dan oleh Ma Man-Sein (1768 M) di Khansu: pemberontakan yang dipimpin oleh Gingah di Turkestan Timur (1828-27 M), peberontakan Sulayman Dwo-Nasyn di Yunnan (1837-55 M) dan pemberontakan Yaqub di Shau-Si, di Khansu dan Turkestan Timur (1855-75 M).
Yang terpenting dari sederetan pemberontakan ini adalah pemberontakan Yunnan, di mana orang-orang Muslim mampu membebaskan kota-kota Dali dan Yunnan (ibukota provinsi). Mereka juga mampu membangun negara Muslim. Namun, negara ini disusupi dan setelah delapan tahun merdeka, ia dihancurkan dari dalam oleh perang saudara. Ini diikuti oleh pembunuhan-pembunuhan missal orang-orang Muslim yang meluas yang sangat mengurangi jumlah mereka. Revolusi Yakub di Kanshu berlangsung selama dua puluh lima tahun. Pada awalnya orang-orang Muslim seolah-olah telah memenangkan peperangan, tetapi pada akhirnya mereka dihancurkan justru ketika di Yunnan.
Jadi abad Sembilan belas di China merupakan abad pemberontakan Muslim terus-menerus melawan penindasan. Dapat diringkaskan dalam kata-kata Imam China terkenal Ibrahim Shiong: “Sejarah perjuangan Muslim untuk hidup sepanjang lebih dari tiga abad penindasan dan kezaliman merupakan bukti terbaik kesatuan mereka (Muslim) dan keinginan mereka yang luar biasa untuk menentang siapapun yang berani menantang keyakinan mereka dan jalan hidup mereka yang Islami berupa lamanya pun ini harus dilakukan.”
Karena itu tidak aneh kalau orang Muslim termasuk pendukung Revolusi Republik pada 1911 yang paling setia. Presiden pertama republik Dr. Sun Yat Sen, menanggapi dengan membebaskan orang Muslim dari segala penganiayaan. Ia menyatakan bahwa bangsa China terdiri dari lima komponen yang sama: Han (orang Budha China); Hui (Muslim China); Ming (Mongol); Man (Manchu); dan Tsang (orang Tibet).
Namun penganiayaan Manchu selama tiga abad menyebabkan orang Muslim lebih miskin, jumlahnya berkurang, terputus hubungan dengan Dunia Muslim yang lain. Walaupun kesetiaan mereka terhadap Islam kuat, tetapi pengamalan Islam mereka memerlukan banyak peningkatan. Setelah 1911, Muslim China membangun kembali kontak-kontak dengan Dunia Muslim, melakukan upaya perbaikan organisasai dan pendidikan dan membawa kembali massa Muslim kepada garis ortodoks. Yang paling meninjol adalah pendirian Organisasi MUSLIM China Progresif di Beijing yang dipimpin oleh Al-Haj Ahound Wang Haonan yang aktivitasnya terpusat pada penyebaran pendidikan Islam, pengajaran bahasa Arab, dan pembangunan masjid dan sekolah. Pada 1938, sustu organisasi baru Pan China Muslim didirikan di bawah pimpinan seorang jenderal angkatan darat Muslim. Ia mengorganisasi milisi Muslim untuk mempertahankan negaranya dari serbuan Jepang. Organisasi yang sama menerjemahkan Al-qur’an ke dalam bahasa China, dan mengirim ratusan pelajar. Pada 1926 Organisasi Kebudayaan Muslim China dibentuk di Shanghai, dipimpin oleh Al-Haj Jalaluddin Hat-Hshing. Peranan organisasi itu adalah mengatur pendirian studi Al-Qur’an (tafsir) dan hadist nabi. Organisasi ini memulai sejumlah besar sekolah dan perpustakaan dan memberikan beasiswa kepada banyak mahasiswa.
Secara cultural, terjadi kebangkitan kembali Muslim sejak di China pada periode 1911-48. Selama periode ini orang-orang Muslim membangun lebih dari seribu sekolah dasar dan perpustakaan dan banyak sekolah menengah. Mereka berhasil dalam mengenalkan studi bahasa Arab dan Islam di universitas-universitas China, seperti Universitas Beijing, Universitas Central, Universitas Tchung-San, dan sebagainya. Mereka memproduksi sejumlah besar literatur Islam dalam bahasa China melalui majalah-majalah Islam seperti: Majalah Studi Islam China; Surat Kabar Islam, Majalah, Sinar Islam, Matahari Terbit, Pemuda Muslim, Al-Islah, Kemanusiaan, Majalah Chee, Majalah Bang-Tou, Batas-batas, Al-Awqaf, dan sebagainya.
Secara politik, Muslim membuat pemunculan kembali secara mengesankan. Banyak di antara mereka bergabung dengan Revolusi Nasionalis dan bertempur dengan keberanian tinggi. Mereka menanggapi seruan Dr. Sun Yat Sen ketika dia berbicara dalam satu pidatonya yang terkenal: “Orang Muslim mempunyai tujuan revolusioner yang kuat. Mereka melawan penindasan di abad-abad yang lalu. Karena alasan ini kami meminta mereka bergabung dengan gerakan revolusi kita. Gerakan Nasionalis China tidak akan berhasil tanpa bantuan orang-orang Muslim, dan pekerjaan mengalahkan penjajahan tidak akan dilakukan tanpa kesatuan yang sempurna dalam usaha-usaha antara orang-orang China dan ummah Muslim.
Pada 1946, ada lebih dari seratus wakil Muslim di parlemen China. Para gubernur daerah-daerah mayoritas Muslim semuanya orang Muslim: Turkestan Timur, Tsinghai dan Ningsia, dan Khansu. Banyak menteri-menteri Muslim dalam pemerintahan, seperti Tn. Ma Fu Sian, dan Jenderal Omar Bay yang menjadi Menteri Pertahanan setelah Perang Dunia II. Orang-orang Muslim bergabung dengan tentara dalam jumlah besar dan banyak di antara mereka menonjol, seperti Jenderal Husayn Bufan Ma, Bushin Ma dan Jee-Yuan Ma.
Usaha pengorganisasian semua Muslim China di bawah satu payung tunggal dimulai oleh Muslim Mongolia, yang pada 1938, membiayai pembentukan “Liga Lima Ma”.

Kekuatan Angka dan Penyebaran Kebangsaan

Provinsi
Jumlah Muslim (ribuan)
Turkestan Timur
2.400
Khansu
3.000
Hopeh dan Beijing
1.000
Shan-Si
1.000
Yunnan
1.000
Manchuria
200
Shan-Toung
200
Honan
200
Kiang-Su
250
Sichuan
250
Daerah-daerah lain
141
Jumlah
9.641


Rezim komunis membuat sensus di China pada 1953. Namun rezim ini tidak menganggap penting afiliasi keagamaan penduduk. Seperti di Uni Soviet, rezim komunis mengakui prinsip kebangsaan di daerah-daerah terpencil. Rezim itu mengakui enam kebangsaan Muslim di daerah otonom Singkiang-Uighur; dua di Provinsi Khansu, dan satu di Chinghai.
—————————
Catatan Kaki:
Ibid., hlm. 5-6. Lihat juga Tien Ying Ma, Ibrahim, Perkembangan Islam di Tiongkok (diterjemahkan oleh Joesoef Sou’yb), Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 24-27. Tien Ying Ma menyebutkan bahwa interaksi awal ini pada awalnya disebabkan kaisar China pada masa itu, Yong Hui, melibatkan dirinya dalam konflik antara Persia dan kaum Muslimin dengan memberikan bantuan bagi kaisar Persia terguling, Yezdegird, untuk memulihkan kekuasannya. Upaya Yezdegird ini gagal dan ia sendiri pada akhirnya mati terbunuh. Intervensi kekaisaran Cina inilah yang menyebabkan Khalifah Utsman mengirimkan delegasi kepada kaisar Cina sebagai teguran. Dikatakan juga bahwa delegasi pertama yang dikirim ini dipimpin oleh Sa’ad ibn Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu.
5Liu Baojun, ibid., hlm. 6.
6Tien Ying Ma, op.cit., hlm. 31. Agama Nasrani yang masuk ke China pada masa itu adalah dari sekte Nestorian yang memang banyak menyebar ke wilayah Timur.
7Showket, Ibrahim, Arab Geography Till the End of the Tenth Century (disertasi), Michigan: University Microfilms International (UMI), 1987, hlm. 61-63.
8Liu Baojun, loc.cit., hlm. 6-7. Ibrahim Tien Ying Ma memberikan kutipan peribahasa yang sedikit berbeda tapi dengan maksud yang sama. Ia juga memberikan penjelasan yang cukup detail tentang Saidian Chi serta peranan ahli keuangan Muslim dalam menjaga stabilitas ekonomi Dinasti Yuan. Tien Ying Ma, loc.cit., hlm. 66-87.
9Tien Ying Ma, ibid., hlm. 65-66.
10Ibid., hlm. 122-135.
11 Liu Baojun, loc.cit., hlm. 41-42.
12 Ibid., hlm. 46-50.
13 Liu Chai Lien, The Arabian Prophet: A Life of Mohammed from Chinese and Arabic Sources (diterjemahkan oleh Isaac Mason), Shanghai: Commercial Press, 1921, hlm. v. Buku ini ditulis oleh Liu Chai Lien dalam beberapa tahap penulisan, yang agaknya disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap sumber-sumber biografi Nabi di China, diselesaikan pada tahun 1724, dan baru bisa dicetak 55 tahun kemudian. Edisi ini diterjemahkan dan diterbitkan oleh Isaac Mason dan diberi pengantar oleh Samuel Zwemer, keduanya merupakan aktivis misionari Kristen ke wilayah Timur dan negeri-negeri Muslim.
14 M. Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2005), hlm. 126.
15 M. Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2005), hlm. 130.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar